Ini penyebab laporan PKPU di tahun 2020 meningkat
08 Oktober 2020
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia hingga saat ini, berimbas ke semua sektor salah satunya sektor ekonomi. Alhasil, banyak perusahaan yang diadukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Mengutip data dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari 5 pengadilan niaga (PN) yakni PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang, PN Surabaya dan PN Makassar, tren kasus PKPU tercatat meningkat.
Tercatat, pada kuartal II 2020 terdapat 129 perkara PKPU. Sedangkan, di kuartal ketiga sajam sudah ada 213 perkara PKPU yang dilaporkan.
Sementara, pada kuartal II 2020 terdapat 16 perkara kepailitan. Sedangkan, pada kuartal III 2020 terdapat 29 perkara kepailitan.
Melihat hal tersebut, Bobby R Manalu, pengamat dan praktisi hukum perdata PKPU/Kepailitan yang juga pengacara dari Kantor Hukum Setiawan Siregar Manalu Partnership (SSMP) mengatakan, meningkatnya PKPU dan kepailitan karena banyaknya korporasi yang mengalami kesulitan likuiditas di tengah pandemi Covid-19.
“Dengan situasi pandemi sekarang, bisa dipahami, kemungkinan banyak yang mengalami kesulitan likuiditas,” kata Bobby kepada Kontan.co.id, Kamis (8/10).
Dia menambahkan, restrukturisasi melalui PKPU lebih efisien karena debitur tak perlu bernegosiasi satu persatu dengan kreditornya. PKPU merupakan salah satu opsi hukum yang bisa diambil pengusaha untuk bertahan. PKPU juga menghindarkan potensi konflik tambahan antara debitur dengan krediturnya.
Meski begitu, Bobby memprediksi jika kondisi perekonomian masih berat, diperkirakan perkara PKPU dan kepailitan bisa meningkat hingga akhir tahun.
“Saya prediksinya juga begitu,” ucap dia.
Dihubungi secara terpisah, Praktisi Hukum sekaligus Advokat dari kantor Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen mengatakan, meningkatnya kepailitan dan PKPU membuktikan kondisi ekonomi semakin memburuk. Terlebih Indonesia terancam resesi.
“Ini disebabkan pemerintah salah kaprah dalam menanggapi pandemi Covid-19. seharusnya fokus menyelesaikan masalah pandemi baru memperbaiki ekonomi,” jelas dia kepada Kontan.co.id, di saat yang sama.
Hendra menyebut, salah satu kesalahan besar pemerintah adalah penolakan pemerintah untuk melakukan lockdown. Padahal Indonesia seharusnya berkaca pada Republik Rakyat Tiongkok, negara asal Covid-19 yang ekonominya malah pulih setelah melakukan lockdown dan memutus mata rantai penyebaran virus.
Hendra juga menyoroti kebijakan pemerintah seperti memaksakan Pilkada atau pengesahan omnibus law yang berakibat demo besar hampir di setiap wilayah. Kebijakan – kebijakan tersebut justru berpotensi akan melahirkan klaster baru penyebaran covid-19.
“Ekonomi tidak akan bergerak normal selama pandemi masih mewabah. pertumbuhan ekonomi yang menurun berkorelasi pada perusahaan tidak bisa melakukan kegiatan usaha dengan normal,” jelas Hendra.