Menakar Perma Penjerat Korporasi
8 June 2017
Bisnis Indonesia (18/05/17) memberitakan KPK sedang mempertimbangkan menerapkan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi (Perma 13/2016) untuk menelusuri aset Sjamsul Nursalim yang diduga berkaitan erat dengan obligasi Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Jika benar terjadi, kasus itu akan menjadi episode baru kasus BLBI sekaligus ujian pertama KPK dalam membidik korporasi di sepanjang sepak terjangnya.
Kita dapat membayangkan jika hal tersebut benar dilakukan, merupakan suatu pekerjaan raksasa. Untuk tempus delicti yang terjadi belasan tahun silam, jelas bukan pekerjaan mudah untuk memilah dan memilih mana aset yang bagian dari kejahatan korporasi. Apalagi perkara tersebut berkaitan erat dengan pengambilan keputusan negara yang tidak normal pada saat itu.
Mengadili perkara masa lampau dengan menggunakan kondisi saat ini jelas akan menghasilkan bias yang mempengaruhi kualitas penilaian. Memeriksa korporasi besar selain membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit, juga menimbulkan biaya lain yang patut diperhitungkan.
Sudah lelah kita dengan terganggunya iklim investasi dan ekonomi yang diakibatkan oleh riak-riak panggung politik. Penegakan hukum jangan pula menambahinya dengan ketidakpastian hukum.
Dengan sumber daya yang terbatas, potensi besaran berbagai macam biaya yang harus ditanggung, dan masih banyaknya perkara lain yang harus mendapat tanggapan serius juga. KPK harus memikirkan langkah yang akan diambilnya itu bersifat efisien, benar-benar bermanfaat bagi maksimalisasi kesejahteraan.
Penghukuman terhadap korporasi dalam kasus korupsi bukan tanpa preseden. Pengadilan Negeri Banjarmasin beberapa tahun silam sudah pernah menghukum korporasi bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pengadilan menjatuhkan pidana denda sekian miliar rupiah plus pidana tambahan penutupan perusahaan tersebut selama beberapa bulan.
Dalam kasus korupsi lain yang melibatkan perusahaan telekomunikasi, korporasinya turut dihukum membayar uang pengganti meski tak pernah diseret sebagai terdakwa.
Secara normatif, di luar korupsi, tercatat paling sedikit 80-an undang-undang yang memberikan peluang bagi penegak hukum untuk mengejar korporasi. Salah satunya, bidang lingkungan hidup.
Meski sudah ada korporasi yang dihukum, sebenarnya infrastruktur pendukung seperti hukum acara pidana (KUHAP) sejatinya belum mengadopsi teknis pemeriksaan hingga penyidangan terhadap korporasi yang dituduh melakukan tindak pidana.
Tak heran jika terdapat disparitas penegakan hukum dalam kerangka sistem peradilan pidana kita, dari level penyidikan hingga putusan pengadilan. Seperti contoh kasus tadi, korporasi tak didakwa tapi turut pula dihukum.
Ketidakjelasan semacam inilah yang sebenarnya coba diatasi Perma 13/2016 sambil menunggu diundangkannya revisi KUHAP agar ada keseragaman penegakan hukum.
Sulit dibayangkan terjadi ragam variasi penegakan hukum pidana yang bersifat ultimum remedium.
Kebetulan pula undang-undang MA memberikan wewenang kepadanya mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan meski dengan berbagai macam pembatasan.
Di bagian pembatasan inilah titik diskusi pentingnya. Sah saja bila berpendapat materi muatan yang diatur dalam Perma 13/2016 masih berada dalam ruang lingkup kewenangannya. Namun kenyataannya tidaklah demikian.
Materi Perma 13/2016 berpotensi diinterpretasikan memasuki wilayah terlarang. Seharusnya Perma tidak mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat kekuatan alat pembuktian serta penilaiannya atau pun pembagian beban pembuktian.
Ketentuan pidana yang diatur dalam Perma 13/2016, khususnya yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus pertanggungjawaban grup korporasi pertanggungjawaban korporasi dalam penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran korporasi, merupakan aturan-aturan yang sepatutnya diatur undang-undang.
Materi muatan Perma 13/2016 juga berpotensi bertentangan dengan ketentuan perundangan lainnya. Misalnya seperti materi dalam Pasal 16. Diatur di sana dalam hal ada kekhawatiran korporasi membubarkan diri dengan tujuan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana, baik yang dilakukan sesudah maupun sebelum penyidikan.
Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan penyidik atau penuntut umum melalui suatu penetapan dapat menunda segala upaya atau proses untuk membubarkan korporasi yang sedang dalam proses hukum sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap.
Penetapan hanya dapat diberikan sebelum permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) atau permohonan pailit didaftarkan.
Pengaturan ini berpotensi mengurangi hak kreditur yang jelas diberikan oleh UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU 37/2004). Perma dengan sendirinya juga melangkahi UU MA yang melarang Perma mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara.
UU 37/2004 menentukan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Pasal Perma tadi mengakibatkan suatu korporasi yang bertindak sebagai debitur dan memenuhi syarat untuk dimohonkan pailit menjadi tidak dapat dimohonkan pailit atau PKPU. Kreditur terhalang haknya. Pembatasan hak kreditur demikian sebenarnya sah-sah saja sepanjang diatur dalam level UU.
Terdapat pula masalah yang seharusnya jauh lebih subtantif lagi. Bukan hanya untuk isu penegakan hukum terhadap korporasi tapi untuk penegakan hukum pidana secara keseluruhan, yakni pencegahan terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan dari aparat penegak hukum.
Penegak hukum bukanlah malaikat tak bercacat cela. Perma tak memberikan aturan penyeimbang seperti aturan ganti kerugian bagi korporasi yang terbukti tidak bersalah.
KUHAP memang memberikan aturan ganti kerugian bagi tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Namun KUHAP tak mengenal korporasi sebagai subjek pemeriksaan. Kalaupun aturan tersebut dianggap bisa diberlakukan begitu saja, aturan pelaksana PP No. 92 Tahun 2015 yang mengatur besaran nilai ganti ruginya sangatlah kecil.
Padahal selama menempuh proses pidana, biaya yang dikeluarkan korporasi sangat besar. Belum lagi biaya lain, seperti pemulihan citra yang secara ekonomis nilainya sangat besar dan strategis.
Dengan demikian, Perma 13/2016 ini seharusnya tak berumur lama agar segera diadopsi ke dalam RUU KUHAP. Legislator pun harus dipaksa segera mengundangkannya. Jangan dibiarkan terlunta-lunta sekian puluh tahun.