Soal revisi RUU Kepailitan dan PKPU, ini kata pengamat
10 September 2020
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menyebutkan, Revisi Undang -Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) masih dalam proses penyusunan.
Menanggapi hal itu, Praktisi Hukum sekaligus Advokat dari kantor Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen mengatakan, UU kepailitan memang sudah layak untuk direvisi agar dapat mengikuti perkembangan zaman dan situasi terkini. Misalnya, pengaturan agar sidang PKPU atau Kepailitan dan rapat kreditur bisa dilakukan secara online.
Hendra mengatakan, pengaturan lain yang perlu direvisi mengenai kurator dan pengurus yang selama ini terkesan hanya seperti fasilitator rapat kreditur. Padahal, fee mereka terbilang luar biasa besar dan eksesif. "Perlu ada pembatasan terhadap fee pengurus dan kurator," kata Hendra kepada Kontan, Kamis (10/9).
Menurut Hendra, hal ini harus diingat juga bahwa fee tersebut akan dibayar oleh debitur. Padahal, sering debitur diajukan pailit atau PKPU justru karena mereka mengalami kesulitan keuangan. "Sering dalam proses PKPU, debitur dipaksa membayar biaya pengurus dengan ancaman perdamaian tidak akan disahkan. Ini sama saja pihak debitur sudah jatuh tapi tertimpa tangga," ujar dia.
Selain pembatasan fee, lanjut Hendra, RUU baru harus memberikan imunitas dan perlindungan hukum terhadap kurator yang beritikad baik. Hal ini supaya kurator tidak dipidanakan oleh debitur yang beritikad buruk.
Kemudian, RUU Kepailitan tidak boleh menaikkan threshold debitur dinyatakan pailit dengan alasan going concern atau keberlangsungan usaha misalnya. Harus diingat bahwa debitur diajukan pailit justru karena mereka mempersulit pembayaran kepada kreditur, sementara bila melalui jalur perdata akan memakan waktu sangat panjang dan lama. "Jadi syarat dua kreditur seperti saat ini harus dipertahankan," ungkap dia.
Selain itu, Hendra berpendapat tentang usulan Wakil Presiden Maruf Amin terkait perlu adanya pengaturan PKPU dan Kepailitan berdasarkan prinsip syariah. Menurut Hendra, usulan itu tidak perlu karena akan jadi rancu. Apalagi usul itu membawa perkara kepailitan dan PKPU transaksi syariah ke pengadilan agama.
"Peran pengadilan agama tidak perlu diperluas. Apabila ada perkara utang piutang yang lahir dari transaksi syariah maka bisa melalui pengadilan niaga seperti biasa," ujar Hendra.
Bobby R Manalu, pengamat dan praktisi hukum perdata PKPU/Kepailitan yang juga Pengacara dari Kantor Hukum Setiawan Siregar Manalu Partnership (SSMP) menilai, revisi UU Kepailitan dan PKPU diperlukan. Sebab, UU ini sudah berusia cukup lama yakni 16 tahun.
"Urgensinya untuk penyesuaian dengan situasi terkini dan melengkapi hal-hal yang belum tercover dalam praktik, mencegah perbedaan penerapan dalam praktik," kata Bobby kepada Kontan.
Bobby juga berpendapat mengenai usulan Wapres Maruf Amin terkait perlu adanya pengaturan PKPU dan Kepailitan berdasarkan prinsip syariah. Menurut Bobby, jika hasil penelitian menunjukkan ada kebutuhan untuk hal tersebut maka usulan itu mungkin bisa dipikirkan. "Sebaiknya memang revisinya jangan terburu-buru, sehingga revisinya bisa dipakai dalam jangka waktu lebih lama," ucap Bobby.
Sementara itu, Kasubdit Penyusunan RUU Rancangan Perpu dan RPP, Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Radita Ajie mengatakan, revisi RUU kepailitan dan PKPU masih dalam proses penyusunan antar kementerian. Proses ini diprediksi masih terus berlangsung hingga tahun 2021.
“RUU Kepailitan dan PKPU masih dalam proses penyusunan di Panitia Antar Kementerian tahun ini dan sepertinya tahun depan masih proses,” kata Ajie kepada Kontan, Kamis (10/9).
Ajie menyebut, revisi RUU Kepailitan dan PKPU ini tidak memuat tentang PKPU dan Kepailitan ekonomi syariah. Hal ini karena tidak terdapat dalam naskah akademik revisi RUU tersebut. “Berdasarkan Naskah Akademik tidak ada pengaturan khusus terkait ekonomi syariah,” ucap Ajie.